(0380) 881580

info@undana.ac.id

Jl. Adisucipto, Penfui

Kupang, NTT 85001

07:30 - 16:00

Senin s.d Jumat

(0380) 881580

info@undana.ac.id

Jl. Adisucipto, Penfui

Kupang, NTT 85001

07:30 - 16:00

Senin s.d Jumat

Dua Anggota MK Prof Arief dan Dr Daniel Sosialisasi Wawasan Kebangsaan di FH Undana

Kupang – Kemitraan dan sinergitas antara Fakultas Hukum (FH) Universitas Nusa Cendana (Undana) dengan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, membuat sejumlah petinggi lembaga peradilan itu intens mengunjungi FH Undana untuk memberi kuliah umum maupun sosialisasi.

FH Undana pernah dikunjungi anggota MK Dr. Daniel Yusmic P. Foekh, SH, MH pada tanggal 10 September 2021, kemudian Ketua MK periode 2018 – 2020, Dr. Anwar Usman, SH., MH pada tanggal 13 November 2021 dan Sekjen MK, Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, SH., MH pada 2 Juni 2022 lalu.

Kali ini, giliran anggota MK Prof. Arief Hidayat, SH.,MS bersama Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, SH., MH berkesempatan mengunjungi FH Undana. Keduanya hadir sebagai narasumber dalam kegiatan sosialisasi wawasan kebangsaan yang berlangsung di Ruang Vicon Dekanat FH Undana, Sabtu (11/2/2023).

Rektor Undana, Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc ketika membuka sosialisasi tersebut mengapresiasi kehadiran 2 (dua) petinggi negara – Hakim Konstitusi Prof. Arif Hidayat., SH., MS. dan Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, SH., MH di Undana.

“Undana, khususnya Fakultas Hukum patut berbangga karena salah satu alumninya adalah pejabat tinggi negara yaitu yang mulia Hakim Konstitusi Dr. Daniel Yusmic P. Foekh, SH., MH,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Prof. Maxs kehadiran alumni FH Undana harus dimaknai sebagai dorongan untuk bergerak cepat meningkatkan akreditasi FH, menjadi Unggul. Sebab, FH merupakan Fakultas tertua di Undana.

Lebih lanjut, kata Rektor, sosialisasi tersebut sangat penting bagi mahasiswa untuk memaknai keberagaman, saling menghargai dan toleransi sebagai sesama anak bangsa.

Menurut Prof. Maxs, jika seseorang mahasiswa tidak mempunyai wawasan kebangsaan yang baik, maka dia akan menjadi mahasiswa yang apatis dan tidak mampu membawa diri untuk beradaptasi dan bersaing di era globalisasi yang kian pesat.

Rektor juga mendorong agar mahasiswa bisa menggunakan kesempatan tersebut untuk bisa mendapat pengalaman dan ilmu dari dua narasumber.

Hakim Konstitusi Prof. Arif dalam paparannya menegaskan, bahwa bangsa Indonesia sangat beruntung memiliki Pancasila sebagai ideologi negara. Ia memiliki keyakinan bangsa ini akan terus eksis dengan ideologi Pancasila. Sebab, negara-negara dengan ideolgi agama pun saat ini, gaya hidup masyarakatnya semakin hedon, tanpa mengutamakan nilai-nilai Ketuhanan, gotong royong maupun toleransi.

Prof Arief juga menerangkan gambaran peradaban manusia. Dari peradaban yang sangat sederhana disebut dengan hunting society beralih pada agrarian society. Kemudian terjadinya revolusi industri dengan  ditemukan mesin uap, listrik dan lainnya.

Bertahun-tahun kemudian menuju pada information society dengan ditemukan komputer dan sebagainya, hingga peradaban saat ini yang disebut era 4.0 bahkan sudah memasuki era 5.0 atau super smart society yang mengalami perkembangan sungguh luar biasa.

“Seperti dilakukan MK sekarang yang tengah mengembangkan teknologi digital. Tapi apakah semua bidang kehidupan akan digantikan dengan teknologi digital? Semuanya harus tetap berbasis pada kemanusiaan (human being),” jelas Arief.

Namun demikian, lanjur Prof Arif, tekonologi juga memiliki sisi negatif, karena banyak orang yang tidak bertanggung jawab ketika menggunakan media komunikasi ataupun media sosial lainnya. “Masyarakat kita akan mudah sekali meniru budaya barat. Padahal Indonesia memiliki budaya yang sangat luar biasa,” ujarnya.

Yang lebih ironis, kata Prof. Arif, pada era yang disebut post-truth saat ini, sesuatu yang tidak benar, namun diulang-ulang di media sosial, maka itu akan menjadi kebenaran. Menurut Arief, ujaran kebencian dan narasi negatif yang bertujuan memecah belah bangsa banyak berseliweran di media sosial. Hal ini harus diganti dengan narasi-narasi toleransi, gotong royong dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Berikutnya, Prof. Arief menerangkan konsep VUCA yang merupakan istilah di dunia militer tahun 1990-an. Konsep ini menurut Arief merupakan gambaran masyarakat pada era 5.0 seperti sekarang. VUCA adalah singkatan dari V (Volatility), U (Uncertainty), C (Complexity), A (Ambiguity). Volatility artinya perubahan yang serba cepat. Dalam masyarakat yang dinamis, berubah secara cepat dan sulit diprediksi, tidak terukur, maka dibutuhkan visi, tujuan, niat yang baik.

Uncertainty dalam VUCA dapat diartikan sebagai ketidakpastian. Era sekarang banyak ketidakpastian, sehingga dibutuhkan kehati-hatian. Sedangkan Complexity dalam VUCA bermakna kompleksitas, situasi yang rumit. Kemudian Ambiguity dalam VUCA, memiliki makna sebagai realitas yang kabur.

Kedudukan Pancasila

Sementara, Hakim Konstitusi Dr. Daniel Yusmic P. Foekh, SH., MH menjelaskan, kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila merupakan manisfestasi nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi way of life masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. “Nilai ini menjadi kausa material Pancasila yang lahir dari wajah asli dan karakter bangsa Indonesia,” paparnya.

Dalam diskusi ini, Dr Daniel juga memaparkan empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Terkait kewenangan MK termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Pertama, MK berwenang menguji UU terhadap UUD. Kedua, MK berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Kemudian MK juga berwenang memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sedangkan, kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selain itu ada kewenangan tambahan dari MK, yakni memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada).

Selanjutnya, Daniel menggambarkan melalui putusan-putusan MK yang berkaitan dengan konsep negara hukum dan ideologi Pancasila. Sebagaimana tertuang pula dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan UU MK serta senada dengan fungsinya, maka MK juga berperan sebagai penjaga ideologi negara. Oleh karena itu, dari beberapa putusan MK di antaranya Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010, yang mengujikan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945; dan Putusan Nomor 82/PUU-XVI/2018 tanggal 26 November 2018, yang mengujikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD 1945.

Lebih lanjut, jelas alumni FH Undana ini bahwa Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya secara tegas dan jelas menyatakan keberadaan Mahkamah tidak hanya sebagai the guardian of constitution tetapi juga the guardian of ideology, sesuai dengan kewenangan Mahkamah menguji undang-undang terhadap UUD.

“Jika ada permohonan yang diajukan untuk menilai konstitusionalitas norma, Mahkamah tidak hanya menilai norma tersebut terhadap pasal-pasal UUD tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai Pancasila,” pungkasnya. (*/rfl)

Photos

Comments are closed.
Archives